Sms pip baru saja selesai aku baca. Kenapa di Kunyit yang sunyi ini pesan berbunyi biasa bisa begitu sakti membuai rasa?. Masih sayangkah kau denganku pip?. Kenapa dulu aku mengabaikanmu?. Segenap sesal menyeruak masuk kedalam dada. Pasukan masa lalu bersenjata tombak merangsek masuk kebalik tulang rusuk. Pertahan terakhirku sebelum wajah kasar ini membuahkan senyum. Aku melirik GPS digenggaman, tekanan udara ambien hampir mencapai seribu tiga belas milibar. Panas inherent dari cebakan magnetite karena terjemur matahari seharian seperti tak ada rasanya. Belum lagi sinar matahari yang berbinar-binar karena tak terhalang awan sedikitpun menunjam ubun-ubun bak pedang api nan berkilat-kilat. Hong Bing Fa, sang penterjemah, melilitkan tanaman perdu ke kepalanya. Sambil menawarkan rokok luckies birunya, dengan terengah-engah ia mendekatiku.
“Xie.. xie… koh”.
“Mau minum Li Zhao?”.
“Enggak koh… Me O”.
“Tulit… tulit…”, sms datang lagi. Kali ini tak berselang lama.
Hmm, pip, kali ini kau ingatkan aku agar berhati-hati dengan malaria. Pip, itukah jejak kita dulu?. Rasa sayang yang terhalang tembok tinggi entah apa. Dan tahukah kalian apa yang terjadi berikutnya?. Gelombang berwarna merah muda bergulung-gulung. Membuncah, tinggi. Kurasa ia hendak membunuhku dengan segenap kekuatannya. Bagai peselancar yang jatuh kedalam air, aku benar-benar tak berdaya dibuatnya. Wajah panas dan senyum dari muka yang berkeringat sudah tak bisa aku kuasai. Pelan lagu turn the page again Tim O’ Brien seperti mengalun diatas hamparan hitam magnetite. Tak lah pip. Aku tak tahu jika ini tak akan pernah bisa mati. Ia hanya butuh sedikit katalisator untuk kembali bereaksi. Reaksi fisi yang mendetakkan jantung berpuluh-puluh kali per menit. Membuat oksigen terasa harum bak bunga surga. Aku rebah diatas rasa yang kukira mampu kulupa.
Diatas ketinggian enam ratus delapan puluh lima meter dari permukaan laut, disaksikan lembabnya hutan sumatera, cinta lama menyergapku.
“…I’m soaring like an eagle, I’ll find a place to land
I’ll let the west wind take me, See what He has planned
My home is in my heart now, or any place I stand…”
“Xie.. xie… koh”.
“Mau minum Li Zhao?”.
“Enggak koh… Me O”.
“Tulit… tulit…”, sms datang lagi. Kali ini tak berselang lama.
Hmm, pip, kali ini kau ingatkan aku agar berhati-hati dengan malaria. Pip, itukah jejak kita dulu?. Rasa sayang yang terhalang tembok tinggi entah apa. Dan tahukah kalian apa yang terjadi berikutnya?. Gelombang berwarna merah muda bergulung-gulung. Membuncah, tinggi. Kurasa ia hendak membunuhku dengan segenap kekuatannya. Bagai peselancar yang jatuh kedalam air, aku benar-benar tak berdaya dibuatnya. Wajah panas dan senyum dari muka yang berkeringat sudah tak bisa aku kuasai. Pelan lagu turn the page again Tim O’ Brien seperti mengalun diatas hamparan hitam magnetite. Tak lah pip. Aku tak tahu jika ini tak akan pernah bisa mati. Ia hanya butuh sedikit katalisator untuk kembali bereaksi. Reaksi fisi yang mendetakkan jantung berpuluh-puluh kali per menit. Membuat oksigen terasa harum bak bunga surga. Aku rebah diatas rasa yang kukira mampu kulupa.
Diatas ketinggian enam ratus delapan puluh lima meter dari permukaan laut, disaksikan lembabnya hutan sumatera, cinta lama menyergapku.
“…I’m soaring like an eagle, I’ll find a place to land
I’ll let the west wind take me, See what He has planned
My home is in my heart now, or any place I stand…”