“A friend in need is a friend indeed”.
Begitu kata ungkapan lama. Sahabat sejati adalah sahabat yang datang kapan saja. Disaat susah atau senang. Tidak memandang apakah kita salah atau benar. Punya uang atau tidak. Ia akan selalu datang memberikan kasih terbaiknya. Menenangkan perasaan. Mendukung setiap tindakan. Mengingatkan dengan cara-cara yang tak menyakitkan.
Ujianku kali ini ternyata mampu membuka mata hati selebar-lebarnya tentang definisi sahabat sejati. Betapa jauh aku lupa tentang itu. Tanpa memandang pamrih ingin aku sebutkan nama mereka satu-persatu sebagai tanda terima kasihku yang tak terhingga pada mereka.
Erfin bin Zulkifli Siregar. Kawan satu ini aku kenal sejak dahulu kala. Sama-sama satu SMA, hingga dewasa. Banyak cerita yang sudah kami lalui. Peristiwa tak menyenangkan tak pernah melunturkan ikatan perkawanan selama hampir sembilan belas tahun lamanya. Walau sifat kami jauh sekali berbeda, entah kenapa kami selalu bersama.
Irma binti Noorachmad. Jika dibandingkan dengan erfin, Irma muncul belakangan. Tak lama setelah itu kami menikah. Jika diurai satu-persatu tentu halaman ini tak cukup menjadi wadah baginya. Namun hingga kini, walau kami adalah suami istri, Irma tetap menjadi ‘guardian angel’ bagi diriku. Seseorang yang akan meradang jika aku tersakiti walau hanya oleh seekor semut. Seorang istri yang merelakan suaminya menikah lagi hanya untuk melihatnya senang!. Bayangkan…
Marhat bin Thalib. Keturunan arab yang suka sekali menertawakan nasib. Lebih tepat aku sebut begitu karena ia selalu mampu menangkap kelucuan dibalik kesusahan. Walau kadang kala menyebalkan karena kerap kali mengajukan complain tentang uang!. Namun siapa yang mampu menemaniku tidur beratap bintang?. disaat aku tak bisa memberi apa-apa selain sebatang rokok?. Marhat jawabannya.
Hmm… Betapa aku tak mampu membalas kasih sayang mereka bertiga, kecuali sepenggal doa dari sudut gelap dan sempit, semoga Alloh selalu melindungi mereka. Memberikan kesehatan dan umur yang panjang. Mengganti pertolongan mereka dengan pahala berlimpah-limpah. Aku tak mampu mengganjar cinta mereka padaku Ya Rabb. Bagiku mereka adalah wakil-Mu untukku di dunia ini. Semoga aku selalu ingat pada mereka. Tidak hanya disaat mereka senang, tetapi juga disaat mereka jatuh. Izinkan aku mohonkan agar Engkau sudi mengabulkan doaku untuk mereka Ya Karim… Amin.
Senin, 01 Juni 2009
Selasa, 14 April 2009
Old Love (14 April 2009)
Sms pip baru saja selesai aku baca. Kenapa di Kunyit yang sunyi ini pesan berbunyi biasa bisa begitu sakti membuai rasa?. Masih sayangkah kau denganku pip?. Kenapa dulu aku mengabaikanmu?. Segenap sesal menyeruak masuk kedalam dada. Pasukan masa lalu bersenjata tombak merangsek masuk kebalik tulang rusuk. Pertahan terakhirku sebelum wajah kasar ini membuahkan senyum. Aku melirik GPS digenggaman, tekanan udara ambien hampir mencapai seribu tiga belas milibar. Panas inherent dari cebakan magnetite karena terjemur matahari seharian seperti tak ada rasanya. Belum lagi sinar matahari yang berbinar-binar karena tak terhalang awan sedikitpun menunjam ubun-ubun bak pedang api nan berkilat-kilat. Hong Bing Fa, sang penterjemah, melilitkan tanaman perdu ke kepalanya. Sambil menawarkan rokok luckies birunya, dengan terengah-engah ia mendekatiku.
“Xie.. xie… koh”.
“Mau minum Li Zhao?”.
“Enggak koh… Me O”.
“Tulit… tulit…”, sms datang lagi. Kali ini tak berselang lama.
Hmm, pip, kali ini kau ingatkan aku agar berhati-hati dengan malaria. Pip, itukah jejak kita dulu?. Rasa sayang yang terhalang tembok tinggi entah apa. Dan tahukah kalian apa yang terjadi berikutnya?. Gelombang berwarna merah muda bergulung-gulung. Membuncah, tinggi. Kurasa ia hendak membunuhku dengan segenap kekuatannya. Bagai peselancar yang jatuh kedalam air, aku benar-benar tak berdaya dibuatnya. Wajah panas dan senyum dari muka yang berkeringat sudah tak bisa aku kuasai. Pelan lagu turn the page again Tim O’ Brien seperti mengalun diatas hamparan hitam magnetite. Tak lah pip. Aku tak tahu jika ini tak akan pernah bisa mati. Ia hanya butuh sedikit katalisator untuk kembali bereaksi. Reaksi fisi yang mendetakkan jantung berpuluh-puluh kali per menit. Membuat oksigen terasa harum bak bunga surga. Aku rebah diatas rasa yang kukira mampu kulupa.
Diatas ketinggian enam ratus delapan puluh lima meter dari permukaan laut, disaksikan lembabnya hutan sumatera, cinta lama menyergapku.
“…I’m soaring like an eagle, I’ll find a place to land
I’ll let the west wind take me, See what He has planned
My home is in my heart now, or any place I stand…”
“Xie.. xie… koh”.
“Mau minum Li Zhao?”.
“Enggak koh… Me O”.
“Tulit… tulit…”, sms datang lagi. Kali ini tak berselang lama.
Hmm, pip, kali ini kau ingatkan aku agar berhati-hati dengan malaria. Pip, itukah jejak kita dulu?. Rasa sayang yang terhalang tembok tinggi entah apa. Dan tahukah kalian apa yang terjadi berikutnya?. Gelombang berwarna merah muda bergulung-gulung. Membuncah, tinggi. Kurasa ia hendak membunuhku dengan segenap kekuatannya. Bagai peselancar yang jatuh kedalam air, aku benar-benar tak berdaya dibuatnya. Wajah panas dan senyum dari muka yang berkeringat sudah tak bisa aku kuasai. Pelan lagu turn the page again Tim O’ Brien seperti mengalun diatas hamparan hitam magnetite. Tak lah pip. Aku tak tahu jika ini tak akan pernah bisa mati. Ia hanya butuh sedikit katalisator untuk kembali bereaksi. Reaksi fisi yang mendetakkan jantung berpuluh-puluh kali per menit. Membuat oksigen terasa harum bak bunga surga. Aku rebah diatas rasa yang kukira mampu kulupa.
Diatas ketinggian enam ratus delapan puluh lima meter dari permukaan laut, disaksikan lembabnya hutan sumatera, cinta lama menyergapku.
“…I’m soaring like an eagle, I’ll find a place to land
I’ll let the west wind take me, See what He has planned
My home is in my heart now, or any place I stand…”
Langganan:
Postingan (Atom)